Jumat, 19 Juni 2009

PEREMPUAN DAN POLITIK



Politik diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan negara. Al-Quran berbicara tentang politik melalui sekian ayatnya, khususnya yang menggunakan kata hukm.

Salah satu topik pembicaraan hangat di kalangan sekian banyak anggota masyarakat Islam adalah keterlibatan perempuan dalam politik, yakni yang berkaitan dengan urusan Negara dan masyarakat. Di Indonesia, pernah terdengar suara dari beberapa ulama yang melarang perempuan menduduki jabatan presiden, walaupun sudah tidak ada persoalan untuk bangsa Indonesia dan ulamanya menyangkut hak perempuan untuk memilih dan dipilih serta keterlibatannya dalam lembaga-lembaga ekskutif, legislativ, atau yudikatif.

Banyak dalih yang dikemukakan oleh para penentang hak perempuan, baik dengan penafsiran ayat Al-Quran dan hadits Nabi saw. Maupun dengan menunjuk beberapa hal yang berkaitan dengan perempuan yang mereka nilai sebagai kelemahan yang menghalangi mereka menyandang hak tersebut.

Mereka misalnya merujuk kepada Quran surat An-Nisa [4]:34 yang artinya: Lelaki adalah pemimpin-pemimpin perempuan.” Mereka memahaminya bersifat umum, padahal memahami penggalan ayat di atas dalam arti khusus – yakni kehidupan rumah tangga – justru lebih sesuai dengan konteks urauian ayat, apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab kepemimpinan itu, yakni antara lain karena lelaki berkewajiban menanggung biaya hidup istri atau keluarga mereka masing-masing.



Adalagi yang menunjuk firman Allah: Wa qarna fi buyuutikunna (Q.S. Al-Ahzab [33]: 33) sebagai perintah Allah kepada perempuan untuk tetap tinggal di rumah, tidak boleh keluar kecuali bila ada keperluan mendesak. Pendapat ini pun tidak tepat. Kalaulah ayat ini kita pahami ditujukan kepada semua perempuan bukan terbatas kepada istri-istri Nabi saw. – sebagian dipahami oleh sebagian ulama – itu sama sekali bukan berarti larangan terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, termasuk kegiatan politik.

Alhasil, tidak ditemukan dasar yang kuat bagi larangan tersebut. Justru sebaliknya ditemukan sekian banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang dapat dikemukakan dalam kaitan ini adalah Q.S.at-Taubah[9]:71 yang artinya:”Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagiab yang lain. Mereka menyuruh yang makruf, mencegah yang munkar,melaksanakan shalat, menunaikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Pengertian kata auliya’ di sini, mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan, sedangkan pengertian menyuruh yang makruf mencakup segala segi kebaikan/ perbaikan kehidupan, termasuk member nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan member saran/ nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik.

Sementara ulama hingga masa kini, walaupun dapat menerima keterlibatan perempuan dalam politik praktis, masih berkeras untuk menolak memperkenankan perempuan menjadi kepala Negara. Dalih mereka yang terkuat adalah sabda Nabi saw. Yang artinya:” Tidak akan Berjaya satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (H.R. Ahmad, Bukhari, an-Nasa’I, dan at-Tirmidzi melalui Abu Bakrah).

Sebenarnya , hadits tersebut tidak dapat dipahami berlaku umum, tetapi harus dikaitkan dengan konteks pengucapannya, yakni berkenaan dengan pengangkatan putrid penguasa tertinggi Persia sebagai pewaris kekuasaan ayahnya yang mangkat. Bagaimana mungkin dinyatakan bahwa semua penguasa tertinggi yang berjenis kelamin perempuan pasti akan gagal? Bukankah Al-Quran menguraikan betapa bijaksana Ratu Saba’ yang memimpin wilayah Yaman? (Baca Q.S. An-Naml[27]: 44). Kemudian, bukankah dalam kenyataan dahulu dan dewasa ini, sekian banyak perempuan yang memimpin berbagai Negara berhasil dalam kepemimpinannya, melebihi keberhasilan dari sekian banyak kepala Negara lelaki? Cleopatra (51-30 SM) di Mesir adalah seorang perempuan yang demikian kuat, “ganas” dan cerdik. Demikian juga Semaramis (sekitar abad ke-8 SM). Dalam istana para penguasa dinasti-dinasti Arab dan Turki, dikisahkan bahwa sering kali yang mempengaruhi jalannya pemerintahan adalah ibu para penguasa, atau bahkan “harim” mereka. Syajarat Ad-Dur, misalnya (1257 M) permaisuri Al-Malik As-Shalih Al-Ayyubi (1206-1249 M) menjadi ratu Mesir setelah suaminya wafat dan anaknya terbunuh. Dia kemudian menikah dengan perdana menterinya dan pendiri Dinasti Mamalik, lalu “menyerahkan” kekuasaan kepada suaminya itu. Namun, dibalik layar, dialah yang sebenarnya memimpin dan berkuasa. Pada masa modern ini, sebutlah sebagai contoh Margaret Tathcher di Inggris, Indira Gandhi di India, Benazir Bhutto di Pakistan, dan masih banyak lainnya.

Di sisi lain, menurut Al-Quran, musyawarah hendaknya merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupa bersama, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat atau Negara dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Karena itu, Al-Quran memerintahkan Nabi saw. Bermusyawarah (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159), di samping memuji kaum muslimin dengan berfirman: “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah” (Q.S. Asy-Syura [42]: 38). Ayat-ayat ini tidak membatasi kegiatan musyawarah hanya pada lelaki. Karena itu, ia dapat menjadi dasar untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi siapa pun – lelaki dan perempuan.

Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan kepala Negara, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan, jangankan kepala Negara, menteri, atau kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politis praktis atau memimpin Negara. Demikianlah, Wa Allah A’lam.
Sumber : Buku karangan M.Quraish Shihab "Perempuan seri 3"

Tidak ada komentar:

 
Free Blogger Templates