Jumat, 19 Juni 2009

Sumber-Sumber Fiqh Islam




Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

1. Al-Qur’an

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.

Sebagai contoh:

Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)

Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.




2. As-Sunnah

As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi:

“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)

Contoh perbuatan:

Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan:

Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.

As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

3. Ijma’

Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).

Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:

Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

4. Qiyas

Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.

Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki empat rukun:

1. Dasar (dalil).
2. Masalah yang akan diqiyaskan.
3. Hukum yang terdapat pada dalil.
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:

Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).

***

Sumber: Majalah Fatawa
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
Selengkapnya...

Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam



Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.




Contohnya:

Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)

Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:

“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)

Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

sumber : muslim.or.id
Selengkapnya...

MEMPELAJARI PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA MELALUI PENDEKATAN KEBUDAYAAN POLITIK



Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.

Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.



Golongan elit yang strategis seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku ini, sebab peranan mereka biasanya amat menentukan walau tindakan politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim politik lingkungannya. Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai cara-cara yang tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju tujuan yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang seperti bidang ekonomi dan yang lainnya.

Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya.

Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.

Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.

Corak pertama terdapat pada golongan elite strategis, yakni kecenderungan untuk memaksakan subyektifisme mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini biasanya melahirkan sikap mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua cirak ini tersintesa sehingga menciptakan suasana politik yang otoriter/totaliter.

Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati kesempurnaan dalam konteks Pancasila.

Esensi manusia ideal tersebut harus dikaitkan pada konsep “dinamika dalam kestabilan”. Arti kata dinamik disini berarti berkembang untuk menjadi lebih baik. Misalkan kepada suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan dengan dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus berkembang. Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.

Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.

Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:

1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya

Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.

Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.

Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.

sumber : mgmpips.wordpress.com
Selengkapnya...

PEREMPUAN DAN POLITIK



Politik diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan negara. Al-Quran berbicara tentang politik melalui sekian ayatnya, khususnya yang menggunakan kata hukm.

Salah satu topik pembicaraan hangat di kalangan sekian banyak anggota masyarakat Islam adalah keterlibatan perempuan dalam politik, yakni yang berkaitan dengan urusan Negara dan masyarakat. Di Indonesia, pernah terdengar suara dari beberapa ulama yang melarang perempuan menduduki jabatan presiden, walaupun sudah tidak ada persoalan untuk bangsa Indonesia dan ulamanya menyangkut hak perempuan untuk memilih dan dipilih serta keterlibatannya dalam lembaga-lembaga ekskutif, legislativ, atau yudikatif.

Banyak dalih yang dikemukakan oleh para penentang hak perempuan, baik dengan penafsiran ayat Al-Quran dan hadits Nabi saw. Maupun dengan menunjuk beberapa hal yang berkaitan dengan perempuan yang mereka nilai sebagai kelemahan yang menghalangi mereka menyandang hak tersebut.

Mereka misalnya merujuk kepada Quran surat An-Nisa [4]:34 yang artinya: Lelaki adalah pemimpin-pemimpin perempuan.” Mereka memahaminya bersifat umum, padahal memahami penggalan ayat di atas dalam arti khusus – yakni kehidupan rumah tangga – justru lebih sesuai dengan konteks urauian ayat, apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab kepemimpinan itu, yakni antara lain karena lelaki berkewajiban menanggung biaya hidup istri atau keluarga mereka masing-masing.



Adalagi yang menunjuk firman Allah: Wa qarna fi buyuutikunna (Q.S. Al-Ahzab [33]: 33) sebagai perintah Allah kepada perempuan untuk tetap tinggal di rumah, tidak boleh keluar kecuali bila ada keperluan mendesak. Pendapat ini pun tidak tepat. Kalaulah ayat ini kita pahami ditujukan kepada semua perempuan bukan terbatas kepada istri-istri Nabi saw. – sebagian dipahami oleh sebagian ulama – itu sama sekali bukan berarti larangan terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, termasuk kegiatan politik.

Alhasil, tidak ditemukan dasar yang kuat bagi larangan tersebut. Justru sebaliknya ditemukan sekian banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang dapat dikemukakan dalam kaitan ini adalah Q.S.at-Taubah[9]:71 yang artinya:”Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagiab yang lain. Mereka menyuruh yang makruf, mencegah yang munkar,melaksanakan shalat, menunaikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Pengertian kata auliya’ di sini, mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan, sedangkan pengertian menyuruh yang makruf mencakup segala segi kebaikan/ perbaikan kehidupan, termasuk member nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan member saran/ nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik.

Sementara ulama hingga masa kini, walaupun dapat menerima keterlibatan perempuan dalam politik praktis, masih berkeras untuk menolak memperkenankan perempuan menjadi kepala Negara. Dalih mereka yang terkuat adalah sabda Nabi saw. Yang artinya:” Tidak akan Berjaya satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (H.R. Ahmad, Bukhari, an-Nasa’I, dan at-Tirmidzi melalui Abu Bakrah).

Sebenarnya , hadits tersebut tidak dapat dipahami berlaku umum, tetapi harus dikaitkan dengan konteks pengucapannya, yakni berkenaan dengan pengangkatan putrid penguasa tertinggi Persia sebagai pewaris kekuasaan ayahnya yang mangkat. Bagaimana mungkin dinyatakan bahwa semua penguasa tertinggi yang berjenis kelamin perempuan pasti akan gagal? Bukankah Al-Quran menguraikan betapa bijaksana Ratu Saba’ yang memimpin wilayah Yaman? (Baca Q.S. An-Naml[27]: 44). Kemudian, bukankah dalam kenyataan dahulu dan dewasa ini, sekian banyak perempuan yang memimpin berbagai Negara berhasil dalam kepemimpinannya, melebihi keberhasilan dari sekian banyak kepala Negara lelaki? Cleopatra (51-30 SM) di Mesir adalah seorang perempuan yang demikian kuat, “ganas” dan cerdik. Demikian juga Semaramis (sekitar abad ke-8 SM). Dalam istana para penguasa dinasti-dinasti Arab dan Turki, dikisahkan bahwa sering kali yang mempengaruhi jalannya pemerintahan adalah ibu para penguasa, atau bahkan “harim” mereka. Syajarat Ad-Dur, misalnya (1257 M) permaisuri Al-Malik As-Shalih Al-Ayyubi (1206-1249 M) menjadi ratu Mesir setelah suaminya wafat dan anaknya terbunuh. Dia kemudian menikah dengan perdana menterinya dan pendiri Dinasti Mamalik, lalu “menyerahkan” kekuasaan kepada suaminya itu. Namun, dibalik layar, dialah yang sebenarnya memimpin dan berkuasa. Pada masa modern ini, sebutlah sebagai contoh Margaret Tathcher di Inggris, Indira Gandhi di India, Benazir Bhutto di Pakistan, dan masih banyak lainnya.

Di sisi lain, menurut Al-Quran, musyawarah hendaknya merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupa bersama, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat atau Negara dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Karena itu, Al-Quran memerintahkan Nabi saw. Bermusyawarah (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159), di samping memuji kaum muslimin dengan berfirman: “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah” (Q.S. Asy-Syura [42]: 38). Ayat-ayat ini tidak membatasi kegiatan musyawarah hanya pada lelaki. Karena itu, ia dapat menjadi dasar untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi siapa pun – lelaki dan perempuan.

Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan kepala Negara, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan, jangankan kepala Negara, menteri, atau kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politis praktis atau memimpin Negara. Demikianlah, Wa Allah A’lam.
Sumber : Buku karangan M.Quraish Shihab "Perempuan seri 3"
Selengkapnya...

 
Free Blogger Templates